IKM- Sidrap.......
Dikutip dari harian Tribun Timur (26/8/07)
Membaca Kearifan Kepemimpinan
Buku Syahrul Yasin Limpo ”Ambil Tanganku, Kuambil Tanganmu”
TUGAS utama seorang pemimpin sesungguhnya adalah mengulurkan tangan, dalam pengertian membuka hati dan pikiran, menyediakan waktu dan tenaga, untuk bekerja bagi orang yang dipimpinnya.
Bekerja dalam hal ini ialah menciptakan dan membangun harapan bersama, merumuskan cita-cita bersama, menetapkan tujuan, mengelola dan menentukan arah, mencari jalan keluar, mendorong, melindungi, dan seterusnya. Bagi para pemimpin pemerintahan, tentu saja uluran tangan dimaksud adalah untuk rakyat.
Kesan ini amat kuat mengemuka setelah membaca buku Ambil Tanganku, Kuambil Tanganmu karya Syahrul Yasin Limpo. Diterbitkan dengan format amat sederhana dan berisi 27 tulisan pendek, terbitan Citra Pustaka, Juni 2007. Yang menarik dari pemikiran di buku ini ialah penulisnya seorang yang sehari-hari bergelut dengan aktivitas pemerintahan, birokrat, yang pandangan umum terkesan tidak punya ruang dan waktu untuk melakukan hal kontemplatif dan bergulat dengan pemikiran.
Birokrasi dan para birokrat memang selalu disalahpahami sebagai kalangan yang “bekerja untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya”, “memperkaya diri sendiri” -ungkapan yang mengandung sinisme bahkan kebencian. Mungkin untuk menepis hal itulah, selain kontemplasi yang berkaitan dengan bidang yang digelutinya serta pengalaman pribadinya sehari-hari, tulisan-tulisan ini hadir sebagai cerminan kepekaan dalam mengamati apa yang berkembang di benak masyarakat. Kepekaan yang mengantarnya pada keadaan dimana kontemplasi yang dilakukan tidak lagi sebagai sebuah tindakan personal untuk penenang batin seperti eskapisme dalam pandangan sufisme, tapi sesuatu yang mesti dibumikan, dibagikan, ditawarkan, dan didiskusikan bersama. Untuk itu, Syahrul menulis kolom-kolomnya dan menariknya, dengan intensitas yang sangat tinggi.
Dalam tulisan berjudul Sufisme Membangun Rahmat, Syahrul menyebut kesufian seperti yang pernah dikembangkan Dato Patimang di Luwu masa lalu, memiliki pemaknaan universal untuk memanusiakan manusia. Misi kesufian Dato Patimang, tidak semata berdimensi Ilahiah, melainkan berdimensi sosial, sehingga sebagai penganjur Islam awal di Sulsel, Dato Patimang hadir untuk penataan sosial dan pembentuk masyarakat sejahtera. Dapat diduga, Syahrul mengail inspirasi dari laku-sufi Dato Patimang lalu mengukuhkan pandangan dan sikapnya tentang kepemimpinan dan pemerintahan. Ini terbaca pada tulisan Membangun Rahmat bagi Rakyat. Tulisan ini mengungkap fungsi dan tugas kepemimpinan ideal: pengambilan keputusan tepat dan cepat, mempertajam arah, efisiensi gerakan, mengharmonisasi seluruh komponen organisasi dan ukuran keberhasilan pemimpin.
Dari teori-teori kepemimpinan yang pernah diserap Syahrul, formulasi leadership ini, adalah sesuatu yang aplikatif, sesuatu yang diyakini, dipegang karena formula ini dikail dari pengalaman kariernya di pemerintahan. Yang lebih menarik lagi ialah formula tersebut ditempatkannya dalam frame kultur Sulsel dimana pemimpin senantiasa menempatkan diri “menjadi bagian” dari yang dipimpin, sehingga nilai siri’, pacce, sipatuo dipatokkong, mali’ siparappe, maling sipakainge’, sipammaling-malingi ,dan seterusnya menemukan implementasi praktis. Inilah mungkin sebabnya mengapa kepemimpinan dalam pandangan Syahrul harus didayagunakan untuk membangun rahmat dan melindungi rakyat. Dalam tulisan Memanusiakan Pembantu di mana Syahrul, mengutip Abraham Maslow tentang piramida kebutuhan manusia, berkeyakinan bahwa needs seorang pembantu juga sama dengan needs siapapun, sehingga dikotomi antara majikan dan pembantu tidak lagi dikenal. Dalam kasus ini, pendekatan yang seyogyanya digunakan ialah pendekatan fungsi, dimana masing-masing kita seharusnya memberi dan diberi penghargaan sesuai dengan fungsi yang dijalankan, dan tidak dari status sosial bawaan hasil konstruksi kultur negatif.
Di sisi ini pulalah terungkap satu nilai penting di hampir seluruh tulisan Syahrul, yaitu solidaritas. Judul Ambil Tanganku, Kuambil Tanganmu merupakan representasi sikap solider. Secara tersirat Syahrul berpandangan solidaritas tak dapat dimaknai sebagai kemurahatian semata. Sikap itu seyogyanya dimulai dengan keterbukaan, ketiadaan prasangka apalagi kepentingan dari maksud baik, untuk merangkul sesama.
Filosofi “ambil tanganku” sebagai sikap terbuka, sangat relevan di era moderen dimana sinergi unsur pembentuk ikatan sosial, proses interaksi dalam organisasi, pola manajemen, inovasi, dan kreativitas permanen adalah keterbukaan. Keterbukaan yang mensyaratkan kesetaraan, sikap setara untuk menjalin tidak saja komunikasi, melainkan penularan pengetahuan, nilai dan akan bermuara pada penciptaan identitas dan kultur baru. Secara sederhana, nilai solidaritas Syahrul adalah upaya memupuk dan meletakkan dasar pembentukan dan pengembangan kehidupan kultural yang relevan dan memiliki daya hidup di tengah arus globalisasi. Melalui tulisan-tulisan ini, Syahrul tampaknya terobsesi untuk penemuan identitas baru bagi masyarakatnya. Dan karena Syahrul adalah seorang birokrat yang memiliki akses untuk memainkan peran, maka dari tulisan-tulisannya terungkap secara jernih keinginan kuat bagi hadirnya identitas Sulawesi Selatan yang baru. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar