Crew IKM Sidrap. HARGA minyak dunia yang melonjak dan dampaknya terasa ke Indonesia, dinilai salah satu bentuk kegagalan manajemen bangsa. Betapa tidak, Indonesia salah satu negara penghasil minyak. Pemerintah seharusnya mengambil langkah membuat aturan dan kebijakan yang berdimensi sejak dahulu. Bukan setiap tahun menggelar rapat untuk kenaikan harga atau subsidi BBM akibat dampak kenaikan harga minyak secara internasional.
Tajuddin Parenta mengemukakan hal itu saat tampil sebagai pemateri dalam dialog publik tentang kenaikan harga minyak dunia dan dampaknya terhadap APBN di Gedung Iptek Universitas Hasanuddin, Sabtu, 19 Maret. Dikatakan Tajuddin, masalah fosil oil sangat dipengaruhi oleh menipisnya cadangan minyak fosil dunia serta beberapa faktor, seperti permintaan yang terus meningkat. Ketidakseimbangan konsumsi dan produksi (discoveriess) amat sensitif terhadap berbagai instabilitas, sementara energi substitusi belum berkembang untuk segera menggantikan energi fosil.
“Kalau negara ini ingin menerapkan gerakan nasional hemat energi maka harus dilakukan pemanfaatan budaya paternalistik,” tutur Tajuddin. Solusi jangka pendek, imbuhnya, dapat dilakukan dalam bentuk menaikkan harga BBM dalam negeri dengan tetap mewaspadai dampak inflator, memperhatikan pemberian subsidi BBM, lifting produksi dalam negeri ditingkatkan dengan menghilangkan sejumlah hambatan dalam produksi dan distribusi. Untuk kebijakan jangka panjang, pemerintah perlu melakukan konservasi non terbarukan dan sumber daya antarwaktu, kebijakan energi nasional tehadap industri dan transportasi, intensif dalam sumber energi alternatif, pemanfaatan budaya paternalistik, dan koordinasi secara riil antara lembaga di tingkat pusat dan daerah.
“Gerakan budaya hemat energi harus dimulai dari pemerintah dan DPRD agar bisa menjadi contoh bagi masyarakat. Hanya saja, gerakan pemerintah selama ini selalu lambat dan gagal,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Aziz menjelaskan, perkembangan harga minyak dunia memang perlu terus diwaspadai. Pengaruhnya sangat signifikan terhadap APBN. Harga minyak yang telah menembus USD100 per barel secara langsung juga akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa serta beban hidup masyarakat. Pada akhirnya, memperlemah pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga minyak juga berpotensi menjadi petaka karena kenyataannya Indonesia saat ini sudah menjadi negara pengimpor minyak. “Pemerintah perlu menyiapkan sejumlah kebijakan antisipasi,” cetusnya, kemarin.
Kendati Indonesia telah menjadi net importir minyak, disadari bahwa pergolakan harga minyak dunia tidak hanya akan berdampak pada sisi pengeluaran, yakni subsidi BBM, tapi juga memiliki dampak terhadap penerimaan negara. Makanya, perlu koordinasi dan sinergi dengan kebijakan moneter dalam mengendalikan nilai tukar. Keberanian pemerintah dalam menjalankan berbagai program terkait dengan road map subsidi listrik dan minyak juga akan menentukan pertahanan tingkat defisit sebesar 1,8 persen terhadap PDB.
“Pemerintah seharusnya tidak tarik ulur setelah adanya dukungan DPR terhadap pelaksanaan program pembatasan konsumsi minyak subsidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar