29 Maret, 2011

Alimuddin Unde: “Masyarakat Bisa Menjadi Pembuat Berita”


Crew IKM.Bertempat di Gedung Rektorat lantai II Universitas Hasanuddin Makassar, Selasa (21/12/10), Andi Alimuddin Unde membacakan pidato pengukuhan sebagai guru besar tetap pada disiplin ilmu komunikasi massa. Dalam pidatonya, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UNHAS itu menyebutkan bahwa pengalaman di masa lampau (masa orde baru), menunjukkan bahwa media massa di Indonesia berada dalam posisi tidak berdaya dari tekanan-tekanan kepentingan pihak penguasa dan pengusaha media massa. Tekanan-tekanan ini, dengan alasan demi stabilitas nasional dan kepentingan pembangunan ekonomi, membuat media massa cenderung untuk berorientasi pada kepentingan pemerintah dan pemilik modal dengan mengabaikan kepentingan khalayak.

Menurutnya, fungsi pengawasan atau kontrol sosial dari media, terutama untuk melakukan kritik dan menyatakan beda pendapat tentang kebijakan yang diambil pemerintah dalam pembangunan bangsa cenderung menurun, bahkan boleh dikata sama sekali tidak ada. Perjuangan media massa adalah perjuangan hak azasi manusia untuk mendapatkan informasi yang layak, dan berani mengajukan pendapat yang berbeda.

Suami dari Andi Husbawaty Mallanti itu mengatakan bahwa dalam konteks yang lebih jauh, masyarakat bisa melakukan aksi boycott untuk tidak membeli surat kabar, atau memindahkan saluran TV jika isinya tidak berkenan sebagaimana biasa dilakukan di negara-negara yang maju demokrasinya. Selera kita untuk memakai komunikasi massa secara mekanistik terkadang sudah di luar batas. Ada kesan komunikasi massa dipandang memiliki semacam kekuatan yang aneh dan hampir gaib untuk mengendalikan orang lain, termasuk sebagai alat dengan keyakinan yang naif dapat mengendalikan dan mempengaruhi penerima di luar kehendak mereka.

Dalam kondisi yang demikian, lanjut putra kelahiran Sidrap 18 Januari 1962 itu, media massa dijadikan sebagai corong negara oleh sekelompok penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dan mempertahankan status quonya. Paradigma ini telah mengilhami pendekatan komunikasi massa di Indonesia pada masa orde baru, misalnya pemerintah menginginkan agar media massa berfungsi sebagai sarana pemeliharaan integritas bangsa dan negara, sarana pemeliharaan kestabilan politik, dan lain-lain. Sementara pada sisi lain, masyarakat (khalayak) mengharapkan media massa bisa berfungsi sebagai sumber informasi yang dipercaya, sarana pengetahuan dan budaya, dan semacamnya.

Almunus SMA 1 Rappang itu selanjutnya memaparkan bahwa realitas tersebut membawa media massa pada posisi yang sangat dilematis, yakni berhadapan dengan berbagai benturan kepentingan. Kerena itu untuk menjaga kelangsungan hidupnya, apakah ia sebagai lembaga ekonomi, saluran aspiratif, atau secara ideal sebagai media perjuangan keadilan dan kebenaran, media massa harus bisa memelihara keseimbangan di antara berbagai benturan kepentingan tersebut. Jika media massa mengutamakan kepentingan dominant class maka ia akan ditinggalkan oleh khalayaknya yang menentukan hidup matinya usaha tersebut. Sebaliknya, jika ia mengutamakan kepentingan khalayaknya dengan mengabaikan dominant class maka bisa jadi, ia akan dikenai tindakan hukum.

“Paradigma lama studi komunikasi memang memandang proses komunikasi melalui media massa bersifat linear dan mekanistik. Tapi praktik dan penelitian ilmiah dalam bidang komunikasi dikemudian hari membuktikan, bahwa paradigma komunikasi yang demikian dan bertengger lebih dari setengah abad itu-kini sudah berlalu” ujarnya.

Ditambahkan pula, “Proses komunikasi sekarang berlangsung sangat interaktif, canggih dan dinamis. Konseptualisasi tersebut bisa dilihat dalam kasus pemilikan media, dimana pemegang modal bisa mengendalikan opini publik dan memaksanakan kehendaknya pada alam pikir pembaca atau pemirsa. Tapi disatu sisi masyarakat bisa saja memutar-balikkan peranannya menjadi penentu informasi dalam bentuk pembuat berita (citizen journalism), komentator, provokator, pengamat dan sekaligus sebagai pemanas situas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar