20 April, 2012

Kanca Perpolitikan sulsel


Pilgub Sulsel digelar Januari 2013. Walaupun belum ada secara resmi menyatakan maju dalam pesta demokrasi itu, tetapi baliho, berita koran dan diskusi di warkop menunjukkan siapa-siapa yang bakal bertarung. Dua nama yang marak diperbincangkan; SYL (Syahrul Yasin Limpo ) dan IAS (Ilham Arief Sirajuddin). Mereka adalah ketua partai yang punya suara besar pada pemilu lalu, Golkar dan Demokrat. Selain mereka, AQM (Aziz Qahhar Muzakkar), LAM (Luthfi A.Mutty), ARA (Andi Rudiyanto Asapa). Nama lain adalah AAN (Agus Arifin Nu’mang) dan MR (Moh. Roem), tetapi dua nama terakhir hanya berani sebagai cawagub mendampingi SYL.

Geopolitik Sulsel

Secara geopolitik, Sulsel terbagi atas 4 kawasan: Luwu Raya, Bosowasi (Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai), Ajatappareng (Sidrap, Parepare, Pinrang, Barru), dan Selatan-selatan (Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng). Bosowasi dan Ajatappareng secara administratif sudah terpisah lama, namun secara kultural punya identitas komunitas Bugis. Sedangkan Selatan-selatan disatukan oleh identitas Makassar. Adapun administratif dalam 10 tahun terakhir, yakni sejak Luwu menjadi 4 daerah otonom (Luwu, Lutra, Lutim, dan Kota Palopo). Dengan demikian, dari segi geopolitik, seharusnya ada kawasan-kawasan lainnya. Sayangnya solidaritas ini sulit dicapai. Penyebabnya, pertama,sejak zaman kerajaan, penduduk Luwu sudah heterogen. Penduduk “asli “ Luwu terdiri atas 12 anak suku yang pakai 9 bahasa ibu. Di pegunungan beragama non muslim, di dataran rendah dan pesisir pantai Islam. Kedua,pada masa penjajahan dam Orba wilayah Luwu menjadi daerah tujuan transmigrasi sehingga penduduknya juga beragam suku, adat istiadat, budaya, bahasa maupun agama. Ketiga, Luwu Raya terbelah berdasarkan afiliasi politik.

Geopolitik di Pilkada Sulsel

Walaupun isu geopolitik sudah menjadi wacana pada pilkada lalu, tetapi kali ini isu itu semakin kencang,terutama sejak munculnya nama LAM yang dianggap representasi Luwu Raya bersama AQM. Anehnya, wacana geopolitik hanya kental dalam kaitan dengan LAM dan AQM. Ketika orang berbicara tentang IAS dan MS, begitu juga dengan ARA, hampir tidak pernah dikaitkan isu geopolitik, padahal ketiganya berasal dari Bosowasi. Bahkan IAS dan MR dari Bone. MR pernah jadi Bupati Sinjai dua periode dan ARA yang kini Bupati Sinjai periode kedua, isu geopolitik tidak mengemuka.

Pertanyaannya, masih relevankah menjadikan geopolitik sebagai isu penting memenangkan pilgub Sulsel? Walaupun isu ini perlu sebagai pertimbangan, tetapi sudah tidak relevan sebagai isu mendulang suara. Alasannya, seiring dengan tingkat kemajuan, mobilitas penduduk juga meningkat. Hal ini kemudian berdampak pada heterogenitas penduduk yang bermukim di suatu kawasan. Heterogenitas ini justru dirasakan di Luwu Raya karena faktor-faktor yang saya uraikan tadi. Alasan lain adalah penduduk di suatu kawasan telah “terbelah” berdasarkan pertimbangan kepentingan politik, ekonomi, dll. Hal ini dibuktikan dari hasil pilgub lalu.

Pasangan SAYANG saat itu dapat dikatakan representasi Selatan-selatan karena SYL satu-satunya Makassar yang maju dalam pilgub tetapi di Jeneponto pasangan SAYANG takluk dari ASMARA meskipun berhasil menang di Takalar. Sementara AAN yang juga satu-satunya wakil Ajatappareng justru dipermalukan di kandangnya. Kecuali di Barru, A Rum, bupati dan ketua Partai Golkar Barru justru cenderung lebih berpihak ke SAYANG karena persahabatannya dengan SYL. Meskipun itu dilakukan di bawah permukaan ketimbang memenangkan ASMARA. Padahal AS ketika itu adalah ketua partai Golkar Sulsel. MH yang orang Barru dan pasangan AQM kalah di kandang.

Nasib yang sama juga dialami oleh pasangan ASMARA. Sebagai satu-satunya pasangan Bosowasi, seharusnya mereka menyapu bersih di kawasan ini, namun ternyata tidak. Pasangan SAYANG tetap meraih suara cukup sehingga memuluskan jalan memenangkan pilgub. Padahal harus diingat bahwa Mansyur Ramli sebagai Wija To Luwu dan menjadi pendamping Amin Syam. Ayahnya dari Bone (Kajuara), ibunya dari Luwu (Malangke). Pelajaran lain yang diperoleh dari kekalahan ASMARA adalah dukungan partai besar tidak cukup menjamin suatu kemenangan. Kekalahan ASMARA membuktikan hal itu. Pasangan AQM – MH yang representasi Luwu Raya juga mengalami nasib sama. ASMARA menang di Lutim, sedangkan SAYANG menang di Lutra, AQM – MH hanya menang tipis di Luwu dan Palopo.

Faktor Toraja

Secara geopolitik, Toraja masuk dalam Luwu Raya. Sedangkan historis, Toraja pernah menjadi bagian Luwu. Toraja baru terpisah secara administratif dari Luwu pada 1959. Secara kultural Toraja sangat spesifik sehingga oleh Van Vollenhoven diklasifikasikan sebagai masyarakat Hukum Adat yang beda dengan Luwu. Selain itu, dari aspek religi juga berbeda dengan Luwu. Mayoritas masyarakat Luwu Islam, maka orang Toraja mayoritas nasrani di samping tetap memelihara kepercayaan nenek moyangnya.

Dari hasil perolehan suara SAYANG pada pilgub lalu diketahui bahwa ada 4 daerah di mana pasangan ini menang mutlak; Gowa, Bantaeng, Lutra, dan Toraja. Jika pasangan ini menang di Gowa tentu tidak mengherankan karena kampung halaman SYL. Sedangkan kemenangannya di Bantaeng tidak lepas dari dukungan Bupati Azikin Zolthan, begitu juga di Lutra. Keduanya mendukung SAYANG karena persahabatan, bukan geopolitik. Jika memang demikian, faktor persahabatan penting diperhitungkan ketimbang faktor geopolitik dalam menganalisis peluang memenangkan pilgub.

Yang fenomenal adalah kemenangan SAYANG di Toraja hingga 80% perolehan suara. Hal ini menjadi penentu kemenangan SAYANG. Padahal SAYANG tidak intens menggarap Toraja ketika itu. Pertanyaanya kemudian adalah apa yang menyebabkan SAYANG menang di Toraja? Pertama, mayoritas masyarakat Toraja beragama non muslim. Mereka tidak akan memilih AQM-MH yang dikenal sebagai ketua KPSSI. Mereka khawatir kemenangan AQM-MH akan membuka jalan pemberlakuan Syariat Islam di Sulsel. Kedua, masyarakat Toraja juga tidak akan memilih pasangan ASMARA karena ketika terjadi pengganyangan gereja di Makassar yang dimotori mahasiswa UMI beberapa waktu sebelumnya, Rektor UMI ketika itu adalah MR, calon wagub pasangan ASMARA. Dengan demikian maka kemenangan SAYANG di daerah ini bukan karena mereka memang menyukai dan menginginkan SAYANG menjadi gubernur, melainkan karena masyarakat Toraja dihadapkan pada tidak ada pilihan lain kecuali memilih SAYANG. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor geopolitik sudah tidak relevan lagi menjadi penentu kemenangan pasangan cagub.

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar